BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Pengertian Tenaga Kerja
Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja,
guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
masyarakat.
Tenaga kerja merupakan modal
utama serta pelaksanaan dari pembangunan masyarakat pancasila. Tujuan
terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut adalah kesejahteraan rakyat
termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan harus di
jamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan daya gunanya. Dalam
peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER-04/MEN/1994 pengertian tenaga kerja
adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan yang belum wajib mengikuti
program jaminan social tenaga kerja karena adanya pentahapan kepesertaan.
1.2
Perlindungan Tenaga Kerja
Pembangunan
ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat
dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur
dan merata, baik materiil maupun spiritual.
Pembangunan
ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan
perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja atau buruh serta pada
saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan
dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan
keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja
selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan
kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan
pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan
sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja
Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja,
dan pembinaan hubungan industrial.
Salah satu syarat untuk keberhasilan
pembangunan nasional adalah kualitas manusia Indonesia yang menentukan berhasil
tidaknya usaha untuk memenuhi tahap tinggal landas. Peningkatan kualitas
manusia tidak mungkin tercapai tanpa memberikan jaminan hidup, sebaliknya
jaminan hidup tidak dapat tercapat apabila manusia tidak mempunyai pekerjaan,
dimana dari hasil pekerjaan itu dapat diperoleh imbalan jasa untuk membiayai
dirinya dan keluarganya.
Peranan
hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa
aman, tentram dan tertib untuk mencapai perdamaian dan keadilan setiap orang.
Hukum seyogyanya memberikan keadilan, karena keadilan itulah tujuan dari hukum.
Perluasan
kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja harus merupakan kebijaksanaan
pokok yang sifatnya menyeluruh di semua sektor. Dalam hubungan ini
program-program pembangunan sektoral maupun regional perlu senantiasa
mengusahakan terciptanya perluasan kesempatan kerja sebanyak mungkin dengan
imbalan jasa yang sepadan. Dengan jalan demikian maka disamping peningkatan
produksi sekaligus dapat dicapai pemerataan hasil pembangunan, karena adanya
perluasan partisipasi masyarakat secara aktif di dalam pembangunan.
Pertumbuhan
ekonomi yang sangat cepat ditandai dengan tumbuhnya industri-industri baru yang
menimbulkan banyak peluang bagi angkatan kerja pria maupun wanita. Sebagian
besar lapangan kerja di perusahaan pada tingkat organisasi yang rendah yang
tidak membutuhkan keterampilan yang khusus lebih banyak memberi peluang bagi
tenaga kerja wanita. Tuntutan ekonomi yang mendesak dan berkurangnya peluang
serta penghasilan di bidang pertanian yang tidak memberikan suatu hasil yang
tepat dan rutuin, dan adanya kesempatan untuk bekerja di bidang industri telah
memberikan daya tarik yang kuat bagi tenaga kerja wanita. Tidak hanya pada
tenaga kerja wanita yang sudah dewasa yang sudah dapat digolongkan pada
angkatan kerja. Tetapi sering juga wanita yang belum dewasa yang selayaknya
masih harus belajar di bangku sekolah.
Bagi
tenaga kerja wanita yang belum berkeluarga masalah yang timbul berbeda dengan
yang sudah berkeluarga yang sifatnya lebih subyektif, meski secara umum dari
kondisi objektif tidak ada perbedaan-perbedaan. Perhatian yang benar bagi
pemerintah dan masyarakat terhadap tenaga kerja terlihat pada beberapa
peraturan-peraturan yang memberikan kelonggaran-kelonggaran maupun
larangan-larangan yang menyangkut kedirian seseorang wanita secara umum seperti
cuti hamil, kerja pada malam hari dan sebagainya.
Selain
itu, masalah gangguan seksual (sexual harressment) seringkali dialami oleh
perempuan di tempat kerja, baik oleh teman sekerja maupun oleh majikan.
Gangguan ini bisa berbentuk komentar-komentar atau ucapan-ucapan verbal,
tindakan atau kontak fisik yang mempunyai konotasi seksual. Walaupun seringkali
oleh orang yang menjadi sasaran tindakan tersebut, suatu gangguan tampaknya
tidak membahayakan secara langsung, namun dengan adanya tindakan itu yang
mempunyai unsur kekuasaan dan dominsi, si orang tersebut selalu menjadi sadar
akan keperempuannya dan keperawanannya terhadap gangguan-gangguan tersebut.
Bentuk yang paling ekstrem dari gangguan seksual itu adalah perkosaan yang
seringkali pula bentuknya sangat terselubung, dalam artian bahwa sering
dianggap peristiwa tersebut sebagai peristiwa individual semata dan tidak
menyangkut pelanggaran hak asasi manusia.
Masalah
tenaga kerja saat ini terus berkembang semakin kompleks sehingga memerlukan
penanganan yang lebih serius. Pada masa perkembangan tersebut pergeseran nilai
dan tata kehidupan akan banyak terjadi. Pergeseran dimaksud tidak jarang
melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menghadapi pergeseran
nilai dan tata kehidupan para pelaku industri dan perdagangan, pengawasan
ketenagakerjaan dituntut untuk mampu mengambil langkah-langkah antisipatif
serta mampu menampung segala perkembangan yang terjadi.
Oleh
karena itu penyempurnaan terhadap sistem pengawasan ketenagakerjaan harus terus
dilakukan agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara efektif
oleh para pelaku industri dan perdagangan. Dengan demikian pengawasan
ketenagakerjaan sebagai suatu sistem mengemban misi dan fungsi agar peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dapat ditegakkan. Penerapan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan juga dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangan/keserasian hubungan antara hak dan kewajiban bagi pengusaha dan
pekerja/buruh sehingga kelangsungan usaha dan ketenagakerjaan dalam rangka
meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan kerja dapat terjamin.
Dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan merupakan salah satu
solusi dalam perlindungan buruh maupun majikan tentang hak dan kewajiban
masing-masing pihak. Perlindungan buruh diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101 meliputi perlindungan buruh
penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan
kerja, pengupahan dan kesejahteraan. Dengan demikian,Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 sangat berarti dalam mengatur hak dan kewajiban bagi para tenaga
kerja maupun para pengusaha di dalam melaksanakan suatu mekanisme proses
produksi.
Tidak
kalah pentingnya adalah perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa
menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan
tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya undang-undang
ketenagakerjaan yaitu mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan
berimbas terhadap kemajuan dunia usaha di Indonesia.
1.
Perlindungan ekonomis, yaitu
perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila
tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.
2.
Perlindungan sosial, yaitu :
perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan
berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
3.
Perlindungan teknis, yaitu :
perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.
1.3
Jenis Perlindungan kerja
1.3.1 Perlindungan
Sosial atau Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja
sebagaimana telah dikemukakan di atas termasuk jenis perlindungan sosial karena
ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial
kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang bermaksud mengadakan
pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha untuk memperlakukan
pekerja/buruh ”semaunya” tanpa memperhatikan norma-norma yang berlaku, dengan
tidak memandang pekerja/buruh sebagai mahluk Tuhan yang mempunyai hak asasi.
Karena sifatnya yang
hendak mengadakan ”pembatasan” ketentuan-ketentuan perlindungan sosial dalam UU
No. 13 Tahun 2003, Bab X Pasal 68 dan seterusnya bersifat ”memaksa”, bukan
mengatur. Akibat adanya sifat memaksa dalam ketentuan perlindungan sosial UU
No. 13 Tahun 2003 ini, pembentuk undang-undang memandang perlu untuk
menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial ini
merupakan ”hukum umum” (Publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana
Jadi, jelasnya kesehatan
kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari kejadian/keadaan
hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya dalam hal
pekerja/buruh melakukan pekerjaannya. Adanya penekanan ”dalam suatu hubungan
kerja” menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan hubungan kerja
dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial sebagaimana ditentukan
dalam Bab X UU No 13 Tahun 2003.
1.3.2 Perlindungan
Teknis Atau Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja
termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis, yaitu perlindungan
terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh
alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
Berbeda dengan
perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan pekerja/buruh
saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada
pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah.
ü Bagi pekerja/buruh,
adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menimbulkan suasana kerja
yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat memusatkan perhatian pda pekerjaannya
semaksimal mungkin tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.
ü Bagi pengusaha, adanya
pengaturan keselamatan kerja di dalam perusahaannya akan dapat mengurangi
terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan pengusaha harus memberikan
jaminan sosial.
ü Bagi pemerintah (dan
masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan keselamatan kerja, maka apa
yang direncanakan pemerintah untuk mensejahterakan masyrakat akan tercapai
dengan meningkatnya produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.
Dasar
pembicaraan masalah keselamatan kerja ini sampai sekarang adalah UU No 1 Tahun
1970 tentang keselamatan kerja. Namun, sebagian besar peraturan pelaksanaan
undang-undang ini belum ada sehingga beberapa peraturan warisan Hindia Belanda
masih dijadikan pedoman dalam pelaksanaan keselamatan kerja di perusahaan.
Peraturan warisan Hindia Belanda itu dalah sebagai berikut :
ü Veiligheidsreglement, S
1910 No. 406 yang telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan S. 1931 No. 168
yang kemudian setelah Indonesia merdeka diberlakukan dengan Peraturan
Pemerintah No. 208 Tahun 1974. Peraturan ini menatur tentang keselamatan dan
keamanan di dalam pabrik atau tempat bekerja.
ü Stoom Ordonantie, S 1931
No. 225, lebih dikenal dengan peraturan Uap 1930.
ü Loodwit Ordonantie, 1931
No. 509 yaitu peraturan tentang pencegahan pemakaian timah putih kering.
1.3.3 Perlindungan ekonomis atau Jaminan Sosial
Penyelenggara program jaminan sosial merupakan
salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan
sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan
Negara, Indonesia seperti halnya berbagai Negara berkembang lainnya,
mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu
jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat
pekerja di sektor formal.
Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu
perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai
pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai
akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan
kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.
Dari pengertian diatas jelaslah bahwa jaminan
sosial tenaga kerja adalah merupakan perlindungan bagi tenaga kerja dalam
bentuk santunan berupa uang ( jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan
hari tua ), dan pelyanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan kesehatan.
Jaminan sosial tenaga
kerja yang diatur dalam Undang – Undang Nomor. 3 Tahun 1992 adalah :
ü Memberikan perlindungan
dasar untuk memenuhi kebutuhanhidup minimal bagi tenaga kerja beserta
keluarganya.
ü Merupakan penghargaan
kepada tenaga kerja mendidik kemandirian pekerja sehingga pekerja tidak harus
meminta belas kasihan orang lain jika dalam hubungan kerja terjadi resiko –
resiko seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua dan lainnya.
1.4
Jenis – Jenis Jaminan Sosial tenaga kerja
1.4.1 Jaminan Kecelakaan Kerja
Kecelakaan
Kerja maupun penyakit akibat kerja maerupakan resiko yang dihadapi oleh tenaga
kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau
seluruh penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau cacat karena
kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka perlu adanya jaminan kecelakaan
kerja.
1.4.2
Jaminan Kematian
Tenaga
kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan
terputusnya penghasilan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi
bagi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan jaminan kematian
dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun
santunan berupa uang.
1.4.3
Jaminan hari Tua
Hari
tua dapat mengkibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mapu bekerja. Akibat
terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan
mempengaruhi ketenaga kerjaan sewaktu masih bekerja, teruma bagi mereka yang
penghasilannya rendah. Jaminan hari tua memberikan kepastian penerimaan yang
dibayarkan sekaligus dan atau berkala pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 (
lima puluh lima ) tahun atau memnuhi persyaratan tersebut.
1.4.4 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Pemeliharaan
kesehatan dimaksudkan unutk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga
dapat melaksankan rugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan dibidang
penyembuhan ( kuratif ).
Oleh
karena, upaya penyembuhan memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan
jika dibebankan kepada perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan
penggulangan kemampuan masyarakat melalui program jaminan sosial tenaga kerja.
Disamping
itu pengusaha tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja
yang meliputi upaya peningkatan (promotif), pencegahan (oreventif), penyembuhan
(kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif).
1.5
Tujuan perlindungan terhadap tenaga kerja
Perlindungan
terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan
menjamin kesamaan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk
mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan pengusaha. Peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan bagi pekerja adalah Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pelaksana dari
perundang-undangan di bidang Ketenagakerjaan.
Permasalahan
ketenagakerjaan di Indonesia terkait mengenai hubungan kerja tidak seimbang
antara pengusaha dengan buruh dalam pembuatan perjanjian kerja. Bukan hanya
tidak seimbang dalam membuat perjanjian, akan tetapi iklim persaingan usaha
yang makin ketat yang menyebabkan perusahaan melakukan efisiensi biaya produksi
(cost of production).
Bab II
Perlindungan Hukum Tenaga Kerja
2.1 Perlindungan Pekerja Perempuan
Di
dalam pelaksanaan perlindungan bagi tenaga kerja perempuan yang bekerja yaitu
Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
Perlindungan Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 8. Per-04/Men/1989
tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Peremuan
pada Malam Hari, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha yang
Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan Pukul
07.00. Semua peraturan tersebut secara jelas memberikan perlindungan kepada perempuan.
Di Indonesia, ketentuan tentang perempuan mempunyai hak yang sama dengan
laki-laki dalam bekerja telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003.
Dalam
Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan
bahwa,”Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat”.
Berdasarkan
pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan Pekerja Wanita adalah Tenaga
Kerja Wanita dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja dengan
menerima upah.
Aturan
hukum untuk pekerja perempuan ada yang berbeda dengan pekerja laki-laki,
seperti cuti melahirkan, pelecehan seksual di tempat kerja, jam perlindungan
dan lain-lain.
v Pedoman
Hukum Bagi Pekerja Wanita
Pelaksanaan
perlindungan hukum terhadap pekerja wanita berpedoman pada Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal 76, 81, 82, 83, 84, Pasal
93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian
kerja bersama perusahaan yang meliputi:
v Perlindungan
Jam Kerja
Perlindungan
dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita (pukul 23.00 sampai pukul 07.00). Hal
ini diatur pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tetapi dalam hal ini ada pengecualiannya yaitu pengusaha yang mempekerjakan
wanita pada jam tersebut wajib:
ü Memberikan
makanan dan minuman bergizi
ü Menjaga
kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
ü Menyediakan
antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara
pukul 23.00 – 05.00.
Tetapi
pengecualian ini tidak berlaku bagi pekerja perempuan yang berumur di bawah 18
(delapan belas) tahun ataupun perempuan hamil yang berdasarkan keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya apabila bekerja
antara pukul 23.00 – 07.00.
Dalam
pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak memberikan makanan dan minuman
bergizi tetapi diganti dengan uang padahal ketentuannya tidak boleh diganti
dengan uang.
v Perlindungan
dalam masa haid
Pada
Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur
masalah perlindungan dalam masa haid. Perlindungan terhadap pekerja wanita yang
dalam masa haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid
dengan upah penuh. Dalam pelaksanaanya lebih banyak yang tidak menggunakan
haknya dengan alasan tidak mendapatkan premi hadir.
v Perlindungan
Selama Cuti Hamil
Sedangkan
pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur
masalah cuti hamil. Perlindungan cuti hamil bersalin selama 1,5 bulan sebelum
saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan dengan upah penuh. Ternyata
dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak membayar upah secara
penuh.
v Pemberian
Lokasi Menyusui
Pasal
83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah
ibu yang sedang menyusui. Pemberian kesempatan pada pekerja wanita yang anaknya
masih menyusui untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk yang lokasinya dekat dengan
perusahaan.
v Peranan
Penting Dinas tenaga Kerja
Peran
Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja wanit
yakni dengan melalui pengesahan dan pendaftaran PP & PKB Perusahaan pada
Dinas Tenaga Kerja, Sosialisasi Peraturan Perundangan di bidang ketenagakerjaan
dan melakukan pengawasan ke Perusahaan.
v Hambatan-Hambatan
Hukum Bagi Pekerja Wanita
Hambatan-hambatan
yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita
adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha yang kadang
menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak adanya sanksi dari peraturan
perundangan terhadap pelanggaran yang terjadi, faktor pekerja sendiri yang
tidak menggunakan haknya dengan alasan ekonomi.
Agar
langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan mengusahakan
untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut ke dalam rumusan undang-undang
negara dan menegakkannya dengan cara mengajukan para pelanggarnya ke muka
sidang pengadilan. Namun demikian, perempuan sendiri masih belum banyak yang
sadar bahwa hak-haknya dilindungi dan bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan perempuan. Adalah sangat prematur untuk mengadakan bahwa
CEDAW sudah dihormati dan dilaksanakan secara universal.
CEDAW
memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan diskriminasi
terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa diskriminasi terhadap
perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan gender yang:
ü Secara
sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;
ü Mencegah
masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak perempuan baik di
dalam maupun di luar negeri; atau
ü Mencegah
kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang
dimilikinya.
Perempuan
mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi reproduksinya
sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW huruf f bahwa hak atas
perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha perlindungan
terhadap fungsi reproduksi.
Selain
itu seringkali adanya pemalsuan dokumen seperti nama, usia, alamat dan nama
majikan sering berbeda dengan yang tercantum di dalam paspor. Tenaga kerja yang
tidak berdokumen tidak diberikan dokumen perjanjian kerja. Hal ini juga sering
terjadi pada pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Maka untuk itu
CEDAW pada pasal 15 ayat (3) mengatur yaitu negara-negara peserta bersepakat
bahwa semua kontrak dan semua dokumen yang mempunyai kekuatan hukum, yang
ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum para wanita, wajib dianggap batal
dan tidak berlaku.
v Perlindungan
Pekerja Perempuan Berdasarkan Konvensi ILO
Konvensi
ILO Nomor 45 tentang Kerja wanita dalam semua macam tambang di bawah tanah. Isi
Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap wanita tanpa memandang umurnya tidak boleh
melakukan pekerjaan tambah di bawah tanah. Pengecualiannya terdapat pada pasal
3.
Dalam
konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki dan Wanita untuk
Pekerjaan yang Sama nilainya menyebutkan, “Pengupahan meliputi upah atau gaji
biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan tambahan apapun juga, yang
harus dibayar secara langsung atau tidak, maupun secara tunai atau dengan
barang oleh pengusaha dengan buruh berhubung dengan pekerjaan buruh”.
Hak
untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada
saat hubungan kerja putus. Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh
diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama
nilainya.
2.2
Perlindungan Pekerja Anak
Masalah
pekerja anak atau tenaga kerja anak diatur di dalam ps.1 Undang-undang No.25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), yang sekaligus
menetapkan batas usia anak yang diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun, baik
untuk anak laki-laki maupun untuk anak perempuan. Tetapi menanggapi pertanyaan
apakah peraturan tersebut sudah memadai dan sejauhmana pelaksanaannya adalah
jauh dari mudah, karena sampai saat ini masalah pekerja anak masih menjadi
kontroversi dalam isu tentang perlindungan anak pada umumnya. Bisa
dikatakan, masalah pekerja anak merupakan masalah klasik dalam hal perlindungan
anak.
Sebagai
Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam Keppres No.36
Tahun 1990, maka ada baiknya kita merujuk pada KHA untuk semua masalah seputar
anak yang kita temui. Di dalam pasal 32 dari KHA, dinyatakan bahwa
anak mempunyai hak untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi ekonomi dan
dari setiap bentuk pekerjaan yang berbahaya dan mengganggu pendidikannya,
membahayakan kesehatannya atau mengganggu perkembangan fisik, mental,
spiritual, moral, dan sosial anak. Oleh karena itu negara berkewajiban untuk
menentukan batas usia minimum pekerja anak, mengatur jam dan kondisi penempatan
kerja, serta menetapkan sanksi dan menjatuhi hukuman kepada pihak-pihak yang
melanggar peraturan tersebut.
Dalam
hal ini, bisa dikatakan bahwa Negara telah menunaikan core obligation-nya
melalui UU Ketenagakerjaan tersebut. Negara telah menetapkan batas usia minimum
pekerja anak, telah mengatur bahwa anak harus dihindarkan dari kondisi
pekerjaan yang berbahaya, dsb. Tetapi persoalan implementasi merupakan masalah
yang sangat berbeda.
Ada
tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yaitu penghapusan
(abolition), perlindungan (protection), dan pemberdayaan (empowerment).
Pendekatan abolisi mendasarkan pemikirannya pada bahwa setiap anak tidak boleh
bekerja dalam kondisi apapun, karena anak punya hak yang seluas-luasnya untuk
bersekolah dan bermain, serta mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.
Sementara pendekatan proteksi mendasarkan pemikirannya pada jaminan terhadap
hak sipil yaitu bahwa sebagai manusia dan sebagai warga negara setiap anak
punya hak untuk bekerja. Dan pendekatan pemberdayaan sebenarnya merupakan
lanjutan dari pendekatan proteksi, yang mengupayakan pemberdayaan terhadap
pekerja anak agar mereka dapat memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya.
Pada dasarnya ILO didukung beberapa negara termasuk Indonesia secara
terus-menerus mengupayakan pendekatan abolisi atau penghapusan terhadap segala
bentuk pekerja anak.
Kondisi-kondisi
yang sangat merugikan seperti diupah dengan murah, rentan terhadap eksploitasi,
rentan terhadap kecelakaan kerja, rentan terhadap PHK yang semena-mena, serta
berpotensi untuk kehilangan akses dan kesempatan mengembangkan diri,
menimbulkan kewajiban baru bagi negara untuk memberikan perlindungan kepada
anak yang terpaksa bekerja, dan bahwa kepada anak yang bekerja harus diberikan
perlindungan melalui peraturan ketenagakerjaan agar mereka mendapatkan
hak-haknya sebagai pekerja sebagaimana orang dewasa dan agar mereka terhindar dari
segala bentuk eksploitasi dan penyalahgunaan.
Jadi
sementara negara belum bisa sepenuhnya menghapus pekerja anak, setidaknya
negara dapat menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja anak, sebagai anak dan
sebagai pekerja, serta memberikan perlindungan bagi anak-anak yang terpaksa
bekerja, melalui cara memfasilitasi mereka dengan pelayanan kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan.
Tetapi
seperti halnya berbagai peraturan lainnya, kendala utamanya adalah dalam hal
pelaksanaan. Dan sejauh mana Negara telah memberikan perlindungan terhadap
pekerja anak, masih perlu kita kaji lebih lanjut.
Adapun
pasal-pasal yang menyebutkan tentang perlindungan pekerja anak yang termuat
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, sebagai berikut:
a. Pengusaha
dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68), yaitu setiap orang yang berumur dibawah
18 (delapan belas) tahun (Pasal 1 nomor 26).
b. Ketentuan
tersebut dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 tahun sampai 15
tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan
dari kesehatan fisik, mental dan sosial (Pasal 69 ayat( 1)).
c. Pengusaha
yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan tersebut harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
- Ijin
tertulis dari orang tua/wali.
- Perjanjian
kerja antara orang tua dan pengusaha
- Waktu
kerja maksimal 3 (tiga) jam
- Dilakukan
pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.
- Keselamatan
dan kesehatan kerja
- Adanya
hubungan kerja yang jelas
- Menerima
upah sesuai ketentuan yang berlaku.
d. Dalam
hal anak dipekerjakan bersama-sama pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak
harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa (Pasal 72).
e. Anak
dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya (Pasal 73).
f. Siapapun
dilarang mempekerjakan anak pada pekerjaan yang buruk, tercantum dalam Pasal 74
ayat (1). Yang dimaksud pekerjaan terburuk seperti dalam Pasal 74
ayat (2), yaitu :
- Segala
pekerjaan dalam bentuk pembudakan atau sejenisnya.
- Segala
pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi
dan perdagangan minuman keras,narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
- Segala
pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran,
produksi pornografi, pertunjukan porno, perjudian.
- Segala
pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.
Bab III
Analisa
3.1 Perlindungan pekerja perempuan
Perlindungan
tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di luar negeri masih lemah. Kondisi
demikian tidak sebanding dengan antusiasme menjadi TKW. Berharap dapat
memperbaiki ekonomi keluarga serta berharap mendapatkan upah yang besar, banyak
remaja dan ibu rumah tangga memilih bekerja sebagai pembantu rumah tangga di
negeri orang.
Untuk
hal tersebut, maka kita perlu memberikan perlindungan tenaga kerja wanita.
Resiko besar menghadang, baik berupa siksaan, pemerkosaan sampai kehilangan
nyawa. Bahkan tidak jarang mereka bekerja bertahun-tahun tanpa upah dan pulang
tanpa nyawa bahkan menderita cacat seumur hidup.
Korban
tenaga kerja wanita yang disiksa, dibunuh oleh majikan hampir selalu ada dan
disiarkan berulang di berbagai media. Pemerintah hampir selalu ikut turun
tangan dan angkat bicara. Namun ironisnya kejadian tersebut terulang dan TKW
terlanjur menjadi korbannya.
Kekerasan,
pelecehan dan perampasan hak TKW ternyata masih belum mampu menjadikan Pemerintah
memberikan perlindungan tenaga kerja wanita rasa aman dan nyaman dalam bekerja.
Pemerintah hanya mampu menjadi mediator sesaat dalam hal perlindungan tenaga
kerja wanita saat mereka bermasalah perindividu perkasus. Bukti ketidak
seriusan pemerintah dalam memberi perlindungan tenaga kerja wanita adalah
terjadinya kekerasan berulang pada TKW yang ada di luar negeri.
Pemerintah
harus serius menangani masalah ini agar tidak berulang terjadi dan seakan tidak
mampu mengurai benang kusut masalah yang dihadapi TKW. Pemerintah melalui Menlu
dan Dubes serta Depnaker, Menkumham, hendaknya mau duduk bersama merumuskan
upaya payung hukum perlindungan tenaga kerja wanita yang akurat sebelum
menandatangani kerja sama dengan Negara lain untuk pengiriman TKW.
Selain
itu memperbaiki sIstem dan penyiapan SDM yang akan menjadi TKW dirasa sangat
perlu. Selama ini para TKW yang berangkat sebagian besar adalah dari mereka
yang memiliki pendidikan dan ketrampilan yang pas-pasan. Sehingga tujuan
bekerja adalah hanya memasuki sektor non formal menjadi pembantu rumah tangga.
Kemungkinan akan menjadi lain jika para TKW yang ke luar negeri adalah mereka
yang memiliki pendidikan dan keahlian khusus. Upaya ini membantu mereka mampu
bersaing dan dapat bekerja dalam sektor formal yang memiliki payung hukum dan
perlakuan jelas dan bekerja secara
profesional.
Kemudian
membuat program pemberdayaan perempuan agar mereka dapat memiliki kompeten yang
dapat membantu meningatkan perekonomian keluarga. Jika para wanita yang
antusias menjadi TKW ini ada kegiatan yang mampu membantu akan lebih memilih
berwirausaha dan bekerja di dalam negeri karena dekat dengan keluarga dan jauh
dari resiko penyiksaan.
3.2 Perlindungan pekerja anak
Tingginya
jumlah pekerja anak di Indonesia masih menjadi salah satu problem serius yang
harus ditangani secara komprehensif. Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil Survei
Nasional Pekerja Anak oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan International Labour
Organization (ILO) tahun 2009, ada sekitar 4 juta anak Indonesia aktif secara
ekonomi. Sekitar 1,8 juta dari mereka masuk dalam kategori pekerja anak.
Sementara itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak juga mencatat 11 juta anak
usia 7-8 tahun tidak terdaftar sekolah di 33 provinsi di Indonesia.
Tingginya
jumlah pekerja anak ini membuat ILO menjadikan Indonesia sebagai negara yang
menjadi target utama dalam Program Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak atau International Programme on The Elimination of Child Labour
(IPEC). Terhitung sejak 1992 hingga sekarang, pemerintah Indonesia bersama
sejumlah pihak terkait baik di tingkat pusat maupun daerah terus mengupayakan
mengurangi jumlah pekerja anak secara signifikan terutama pada sejumlah jenis
pekerjaan yang dikategorikan sebagai pekerjaan berbahaya bagi anak. Sejumlah
pekerjaan berbahaya itu antara lain pelacuran, pertambangan, penyelam mutiara,
sektor konstruksi, jermal, pemulung sampah, pekerjaan dengan proses produksi
menggunakan bahan peledak, bekerja di jalan dan pembantu rumah tangga.
Komitmen
Pemerintah Indonesia termasuk negara yang memiliki komitmen besar untuk
menanggulangi masalah pekerja anak. Salah satunya ditandai dengan keikutsertaan
Indonesia dalam program IPEC ILO sejak dua dekade lalu. Indonesia juga turut
meratifikasi Konvensi ILO tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
(No. 182) dan Konvensi ILO mengenai usia minimum memasuki dunia kerja (No.
138). Dengan meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia mempertegas komitmennya
untuk mengambil tindakan dengan segera dan efektif untuk melarang dan
menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Sebagai
tindak lanjut dari ratifikasi tersebut, Pemerintah juga mengembangkan Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang disahkan
melalui Keputusan Presiden No. 59 tahun 2002. Rencana Aksi ini
mengidentifikasikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan menargetkan
Indonesia akan bebas pekerja anak pada tahun 2016. Untuk mengakselerasi tujuan
ini, pemerintah menjalin kemitraan yang strategis mulai dari pemerintah daerah,
pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat hingga berbagai organisasi
internasional. Beberapa pemerintah daerah bahkan dengan tegas memproklamirkan
daerahnya sebagai Zona Bebas Tenaga Kerja Anak (ZBTA).
Sejumlah
upaya di atas mulai menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Berdasarkan
data ILO, telah terjadi penurunan jumlah pekerja anak yang cukup signifikan di
Indonesia. Jika pada tahun 1996 terdapat sekitar 2,5 juta pekerja anak, jumlah
ini terus mengalami penurunan sekitar 3,4 persen setiap tahunnya hingga menjadi
1,5 juta orang pada 2010.
Peningkatan
partisipasi di sekolah juga dinilai telah berhasil membantu mengurangi jumlah
pekerja anak secara signifikan. Meski demikian, upaya untuk mewujudkan
Indonesia bebas pekerja anak pada tahun 2016 nanti masih sangat panjang.
Tingginya angka kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, persepsi keluarga
tentang pendidikan serta dinamika permintaan akan tenaga kerja dinilai masih
akan menjadi hambatan penghapusan pekerja anak secara total.
Menuntaskan
akar masalah meski bukan satu-satunya faktor, tingginya angka kemiskinan
seringkali dianggap sebagai salah satu faktor pendorong utama tingginya jumlah
pekerja anak di Indonesia. Di mana, salah satu dampak kemiskinan yang utama
adalah diabaikannya hak-hak anak, yang dengan segera memunculkan pekerja anak.
Karena
itu, selain melakukan penarikan dan pencegahan anak secara langsung dari dunia
kerja, pendekatan ekonomi kini turut menjadi salah satu strategi utama dalam
menanggulangi masalah pekerja anak. Salah satu yang menjadi prioritas adalah
program pengentasan kemiskinan para orang tua. Karena kemiskinan orang tua bisa
menjadi sumber utama munculnya pekerja anak. Kemiskinan yang terus berlanjut
juga bisa membuat siklus pekerja anak terus mengalami regenerasi.
Dalam
kasus pekerja anak, banyak di antara buruh anak yang ditemukan sekarang
merupakan anak dari orang tua yang dulunya juga buruh anak. Mereka tidak punya
banyak pilihan selain terus menjadi buruh dan ini bisa berlangsung hingga
generasi berikutnya. Kemiskinan juga membuat banyak orang tua dan anak tidak
memiliki pemahaman dan akses yang cukup pada pendidikan. Kondisi ini terkadang
masih diperparah oleh budaya sebagian masyarakat yang menganggap bekerja lebih
menguntungkan daripada menuntut ilmu di sekolah.
Untuk
memutus lingkaran setan ini, sejumlah upaya pemberdayaan ekonomi keluarga
miskin terus digalakkan. Salah satunya melalui kredit mikro atau microfinance.
Lembaga ini sering dipandang sebagai salah satu obat yang mujarab untuk
mengentaskan kemiskinan. Ia tidak hanya memberi akses modal bagi masyarakat
miskin yang tidak tersentuh akses permodalan dari lembaga keuangan namun juga
sekaligus bisa berfungsi sebagai sarana pemberdayaan bagi masyarakat miskin.
Meski demikian, kredit mikro bukan merupakan satu-satunya penyelesaian,
sehingga harus disinergiskan dengan program lain yang relevan.
Bab IV
Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI)
4.1 Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)
Tugas pokok
BNP2TKI adalah:
·
melakukan penempatan atas dasar perjanjian
secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau
Pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan;
·
memberikan pelayanan,
mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai: dokumen; pembekalan akhir
pemberangkatan (PAP); penyelesaian masalah; sumber-sumber pembiayaan;
pemberangkatan sampai pemulangan; peningkatan kualitas calon TKI; informasi;
kualitas pelaksana penempatan TKI; dan peningkatan kesejahteraan TKI dan
keluarganya.
Bab V
SIMPULAN dan SARAN
4.1
SIMPULAN
Setelah penulis
melakukan analisis tentang perlindungan tenaga kerja, penulis menyimpulkan
bahwa perlindungan tenaga kerja Indonesia masih lemah. Masih banyak kejadian
yang menyebab tenaga kerja kerja Indonesia kehilangan hak-hak dasar sebagai
pekerja. Selain itu, permasalahan
ketenagakerjaan di Indonesia terkait mengenai hubungan kerja tidak seimbang
antara pengusaha dengan buruh dalam pembuatan perjanjian kerja. Bukan hanya
tidak seimbang dalam membuat perjanjian, akan tetapi iklim persaingan usaha
yang makin ketat yang menyebabkan perusahaan melakukan efisiensi biaya produksi
(cost of production).
4.2 SARAN
Adapun
saran penulisan makalah ini sebagai berikut :
Mengingat
masih banyak perusahaan dalam hal ini pengusaha meskipun sudah mengetahui
peraturan yang berlaku tetapi tidak melaksanakannya sebagaimana mestinya, perlu
dikenakan sanksi bagi pengusaha yang tidak melaksanakan peraturan tersebut oleh
pihak yang berwenang demi tercapainya hubungan industrial, adanya saling
membutuhkan antara pihak pengusaha dan tenaga kerja khususnya tenaga kerja
wanita dan anak-anak. Selain itu pemerintah harus meningkatkan pengawasannya
terhadap pengusaha yang mempekerjakan pekerja wanita dan anak-anak apakah sudah
mentaati peraturan yang ada atau belum. Dan peran aktif kesadaran pekerja
wanita atau anak-anak sendiri serta perusahaan juga sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN